LPPM UPN “Veteran” Jakarta (08/09/2025)- Dalam rangka memperingati 20 tahun penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki yang menjadi tonggak perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Untuk membahas isu ini, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) menggelar seminar internasional bertajuk “Laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dan Bedah Buku Resisting Indonesia’s Culture of Impunity” pada Senin, 8 September 2025, di Auditorium Bhinneka Tunggal Ika, Lt.4 Gedung Rektorat UPNVJ Pondok Labu.
Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama Program Studi Magister Ilmu Politik, Center for Citizenship and Human Rights Studies (CCHRS), Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HIMAPOL), Asia Justice and Rights (AJAR), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UPNVJ. Dalam Diskusi ini menghadirkan empat narasumber ahli, yaitu Afridal Darmi (Komisioner KKR Aceh Periode I), Masthur Yahya (Ketua KKR Aceh), Abdul Haris Semendawai (Wakil Ketua Komnas HAM RI), dan Dr. Sri Ayu Wahyuningroem (Direktur CCHRS UPNVJ).
MoU Helsinki: Bukan Akhir, tetapi Awal Perjuangan
Dalam sambutannya, Ketua Jurusan Ilmu Politik UPNVJ, Dr. Ardli Johan Kusuma, menegaskan bahwa MoU Helsinki bukanlah akhir dari perjalanan perdamaian, melainkan titik awal untuk mengimplementasikan keadilan transisional. Ia menekankan pentingnya menghapus budaya impunitas karena berpotensi menjadi “duri dalam demokrasi” jika dibiarkan.
Senada dengan hal tersebut, Dr. Sri Lestari Wahyuningroem, Kepala LPPM UPNVJ sekaligus Dosen FISIP UPNVJ serta Penanggung Jawab CCHRS menyampaikan bahwa acara refleksi ini ibarat membaca kembali “buku putih Aceh” sebuah upaya memahami kesalahan masa lalu yang pernah dianggap lumrah. Ia juga menyinggung relevansi pengalaman Aceh dengan konflik Papua, yang masih menghadapi normalisasi kekerasan.
KKR Aceh: Menjaga Memori, Merawat Perdamaian
Dalam sesi diskusi, Afridal Darmi (Komisioner KKR Aceh Periode I) memaparkan hasil kerja KKR yang telah mendokumentasikan ribuan kasus pelanggaran HAM di Aceh. Data tersebut menjadi bagian penting untuk menjaga memori kolektif, merawat perdamaian, sekaligus menuntut keadilan bagi korban.
Sementara itu, Masthur Yahya, Ketua KKR Aceh, menegaskan bahwa laporan KKR telah disampaikan kepada pemerintah pusat, namun masih menghadapi kendala tindak lanjut karena keterbatasan aspek legal. Padahal, menurutnya, KKR dibentuk berdasarkan kesepakatan MoU Helsinki serta qanun lokal di Aceh.
Wakil Ketua Komnas HAM RI, Abdul Haris Semendawai, mengapresiasi kerja KKR Aceh dan menekankan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat merupakan tanggung jawab negara, baik pusat maupun daerah. Ia menegaskan, meski ada hambatan regulasi terkait pengadilan HAM, tuntutan keadilan akan tetap hidup sampai negara benar-benar menyelesaikannya.
Seminar internasional ini dihadiri lebih dari seratus peserta, terdiri dari mahasiswa, akademisi, hingga pemerhati isu HAM. Diskusi berlangsung dinamis dengan berbagai pertanyaan dan refleksi kritis dari peserta.
Melalui kegiatan ini, UPNVJ menegaskan komitmennya untuk terus menjadi ruang dialog akademik dalam membahas isu-isu keadilan transisional dan perdamaian berkelanjutan. Dengan refleksi dua dekade MoU Helsinki, UPNVJ berperan aktif mendukung terciptanya keadilan bagi korban serta memperkuat fondasi demokrasi di Indonesia.
